Antara Pers Orba Dan Dead Poets Society

Antara Pers Orba Dan Dead Poets Society
Oleh : Elis Setiawati

Setelah beralihnya masa orde baru menjadi masa demokrasi. Kita telah melewati berbagai rentetan rintangan yang membuat bangsa Indonesia semakin terpuruk, yang seharusnya lebih baik dalam aspek apapun.

keterkekangan atau keterpenjaraaan kebebasan telah dirasakan senior-senior pers jaman orde baru saat itu. Mereka tidak diberikan kebebasan dalam pemberitaannya. Setiap berita yang kiranya menyinggung program pemerintahan saat itu, maka berita yang ditulispun langsung dibredel. Pers hanya dijadikan alat monopoli politik pemerintah saja.Kini, tak jarang orang yang merindukan kembali kepemimpinan Orde Baru yang Otoritarian. Alasannya sederhana karena situasi di zaman Orba dinilai lebih baik. Meskipun Soeharto membungkam pers, melarang oposisi, melarang demonstrasi, dan menerapkan system pemerintahan yang sentralistik, tetapi, Soeharto dapat menjamin kestabilan harga sembako, dan hak-hak rakyat untuk hidup dengan aman tanpa ancaman bom dan terorisme.

Apakah yang menjadi penggerak manusia saat ini adalah goresan dari sejarah? ‘inilah filsafat sejarah’ dan peminat bidang yang sama secara hati-hati akan menjawab, “Hari kemarin atau esok”?.

Tom Schulman,Penulis cerita film Dead Poets Society, mempercayai bahwa hari kemarin dapat memacu kreativitas masa kini. Sang guru Keating mengajarkan tujuh siswanya (Niel dan kawan-kawan) untuk mendobrak kebekuan-kebekuan sekolahnya yang telah mentradisi dengan semboyan, honor(kehormatan), discipline (disiplin), excellence (keunggulan), tradision (tradisi). Tradisi itulah yang ingin dibebaskan oleh Keating melalui anak-anak didiknya. Sehingga mereka mampu meraih kebebasan tanpa adanya keterpenjaraan kreatifitas.

Dead poet society mengingatkan kita akan pentingnya kebebasan berfikir dan berkarya. Sebuah keterpenjaraan karakter menjadikan kita tak berdaya dalam mengembangkan imaginasi. Kita harus bisa meraih kemerdekaan dan mengambil hak-hak kita yang tertindas. Setidaknya, kita bisa bebas dalam khayalan dan fikiran sendiri. Selama ada niat dan kita mampu, maka kejarlah cita-cita sampai kesuksesan diraih dalam genggaman. Selain itu, sisi lain dari film ini menampilkan daya romantisme, daya fatalis yang diungkap oleh Nolan (tokoh kepala sekolah) , ia secara genjar mengumbar semangat kepatuhan kepada tradisi dengan melakukan segala hal baru yang menentangnya. Secara normatif, penulis cerita ini berpesan bahwa pada saat kita salah membaca peta kehidupan setiap orang bisa dibelenggu secara fatal oleh romantismenya.

Lalu apa hubungannya DPS dengan Pers Orba?

Titik temu antara keduanya adalah kesamaan tokoh, kesenasiban mengalami keterpenjaraan dalam kebebasan berkarya. Tokoh Neils yang menjadi boneka ayahnya untuk selalu taat perintahnya kelak, hingga dia berhasil menjadi seorang dokter yang dibanggakan. Kecintaannya terhadap sastra dan acting di halangi oleh ayahnya tersebut. Pentas drama yang ia dambakan sejak lama, harapan menjadi seorang actor besar pupus sudah, tetapi karena kegigihan dia dan dukungan sang guru akhirnya dia nekat untuk pentas walaupun akhir yang pahit harus ia telan. Sama halnya dengan tokoh pers Orba yang menjadi boneka pemerintah saat itu. Pers hanya berperan sebagai bahan monopoli politisi program pemerintah yang Otoriter, sebagai alat pendukung, penyebar program-program kepada masyarakat.

Agaknya keterpenjaraan ini cenderung membuat tokoh-tokoh pers Orba bangkit dengan semangatnya untuk merebut hak-hak mereka yang telah lama terenggut. Secara perlahan merekapun mulai bangkit. Pada satu sisi, semua orang boleh saja berontak. Tentunya, dengan batasan yang sewajarnya dan mampu mempertanggungjawabkan.

Selain kesamaan antara kebebasan yng terpenjara, perbandingan yang menonjol antara keduanya adalah peniruan, tradisi yang dilakukan anak didik John Keating, meniru kegiatan para senior jaman Keating berjaya. Mereka meniru hal yang telah dilakukan sebelumnya, salah satunya membaca puisi di sebuah Goa, malam hari secara bergiliran. Begitupun gaya tulisan para tokoh pers masa kini yang meniru gaya tulisan dengan berkiblat pada majalah tempo berjaya, tulisan yang identik bergaya feature. Apakah ini disebut warisan leluhur? Ataukah goresan sejarah saja?.

Bagi semua pihak tentunya ini menjadi sebuah tuntutan dan tantangan untuk berani secara jujur, mampu melihat perubahan-perubahan yang berlangsung menimpa dunia pers, serta tokoh-tokoh yang ada dalam film DPS. Pergeseran dan pergerakan menuju kebebasan dari keterpurukan ini sangat penting dan strategis secara politis ke posisi yang bebas sebebas-bebasnya. Perubahan harus mengilhami suatu strategi yang tepat untuk mengukuhkan peranan social yang baru dan mencari makna kebebasan dari keberadaan kita.

Dalam hal ini, setidaknya ada dua point penting. Pertama, sehubungan dengan pers yang ada di Indonesia pada zaman orba hingga sekarang adalah pentingnya unsur kedekatan agar bisa melobi pemerintah. Kedua, pers harus mampu mengembangkan wawasan yang luas tentang berbagai hal dalam kerangka yang integral serta institusi secara langsung berurusan dengan bahasa yang komunikatif karena sifat pers yang potensial menjembatani komunikasi massa.

Masa lalu berharga dalam masa kini, hanya jika ia memiliki semangat yang tinggi dan nilai pembaharuan serta kemajuan yang masih bisa dipetik. Barang kali ada baiknya kita sebagai calon-calon pers masa yang akan datang, bangkit bersama-sama, mencoba mendengar desahan sang pendiri Dead Poets Society, guru tercinta Keating yaitu, “Raihlah hari ini”!.

Selama manusia memiliki akal dan perasaan selama itu pula seni akan hidup, dan karya baru akan terus muncul. Jika karya merupakan suatu bentuk eksistensi dan introspeksi, maka sudah saatnya semboyan, “aku berfikir maka aku ada” dari Rene Descrates. Digantikan oleh “aku berkarya maka aku ada”. Maka, mati kita tak berkarya. (elz/10080005236).

~ oleh cardut pada Januari 24, 2008.

Tinggalkan komentar